
Menyambut gembira adanya perbedaan (Foto: mural di kantor dinas pendidikan Surabaya)
Memulai menulis ‘Merayakan Perbedaan’ ini aku teringat ujaran seorang kawan, “Soal perbedaan, gak usah rumit mikirnya! Coba saja liat jempol kita, kiri dan kanan itu jelas berbeda. Lalu renungkan, dan cari tahu kenapa Tuhan menciptakannya berbeda!”
Setelah kulihat dan perhatikan secara seksama, ya memang betul jempol kiri dan kanan kita berbeda. Lalu, sambil mikir dan mencari tahu, aku juga bertanya pada Copilot soal itu. Dengan kecerdasan buatannya dia menjelaskan.
Mengapa Allah SWT Menciptakan Perbedaan
Allah SWT menciptakan perbedaan sebagai tanda kebesaran-Nya dan untuk menunjukkan keindahan serta keragaman ciptaan-Nya. Perbedaan ini mencakup segala aspek kehidupan, mulai dari bentuk fisik, karakter, hingga kemampuan individu. Salah satu contoh yang sederhana adalah perbedaan antara jempol kiri dan kanan. Meskipun keduanya memiliki fungsi yang mirip, bentuk dan posisi mereka berbeda, yang memungkinkan kita untuk melakukan berbagai aktivitas dengan lebih efisien.
Perbedaan juga mengajarkan kita untuk saling menghargai dan memahami satu sama lain. Dalam Al-Qur’an, Allah SWT berfirman:
“Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikan kamu berbangsa-bangsa dan bersuku-suku supaya kamu saling mengenal. Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Allah ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. Al-Hujurat: 13)
Ayat ini mengingatkan kita bahwa perbedaan adalah bagian dari rencana Allah SWT untuk menciptakan harmoni dan saling pengertian di antara manusia. Dengan adanya perbedaan, kita dapat belajar untuk bekerja sama, menghargai keunikan masing-masing, dan memperkaya kehidupan kita dengan berbagai perspektif.
Selain itu, perbedaan juga mendorong kita untuk terus belajar dan berkembang. Ketika kita dihadapkan pada perbedaan, kita ditantang untuk berpikir lebih kreatif dan mencari solusi yang inovatif. Hal ini membantu kita untuk menjadi individu yang lebih baik dan lebih bijaksana.
Bhinneka Tunggal Ika
Lebih lanjut kuperhatikan tulisan ‘Bhinneka Tunggal Ika’ yang dibawa terbang di kaki Sang Garuda. Kalimat sakti itu memiliki makna yang dalam dan tekad yang kuat bagi bangsa Indonesia untuk mencapai kejayaan. Berbeda-beda tetapi tetap satu, merupakan satu kalimat yang tampak sederhana, namun menantang untuk diimplementasikan, terutama dalam kehidupan nyata dan kehidupan berbangsa dan bernegara.
Spontan pasti akan ada yang menyangkalnya. Kita bangsa Indonesia tentu akan merasa bisa dan mampu menjadi manusia seperti tertulis dalam semboyan yang ada pada Lambang Negara, Garuda Pancasila itu.
Ya, mungkin dalam kadar tertentu kita dapat menerima perbedaan-perbedaan hingga sejauh ini, 79 tahun bangsa Indonesia masih bertahan dalam kesatuan negara Republik Indonesia menjadi salah satu buktinya. Namun, apakah dalam sikap dan perilaku individu kita sudah bisa menerima semua perbedaan yang ada?
Tentu jawabnya adalah kita belum sepenuhnya bisa menerima perbedaan. Faktanya, masih kita temui sikap rasis, pembuly-an, hingga tak menghormati pada individu yang berbeda dengan kita. Diakui atau tidak, fakta-fakta itu tak bisa disembunyikan. Perbedaan suku, agama, ras, kelompok, hingga cara pandang kita masih sering menjadi sumber konflik. Termasuk penerimaan kita pada saudara-saudara kita yang berkebutuhan khusus pun masih menyisakan banyak masalah dalam berbagai aspek kehidupan kita. Misalnya, dalam dunia pendidikan masih kita temui adanya orang tua yang belum bisa menerima ketika anaknya belajar satu kelas atau satu sekolah dengan siswa berkebutuhan khusus. Atau, masih banyak terjadi kasus lain yang dihadapi oleh murid-murid berkebutuhan khusus, terkait dengan haknya memperoleh pendidikan berkualitas.
Keluh kesah itu penulis dengar saat berkunjung ke Pulau Seribu Masjid, Lombok. Mama Alif, salah seorang yang menceritakan bahwa anaknya yang didiagnosa menderita ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder) awalnya kesulitan untuk mencari sekolah, hingga akhirnya dengan penuh rasa syukur Alif kecil diterima dan bersekolah di SDN 3 Praya, Lombok Tengah. Menghadapi kesulitan orang tua menyekolahkan anaknya, bisa saja kita bilang bahwa ada Sekolah Luar Biasa (SLB) yang diperuntukkan bagi anak-anak yang berkebutuhan khusus / disabilitas. Namun kita harus membuka mata, bahwa jumlah SLB itu terbatas dan kadang lokasinya sangat jauh dari rumah tinggal anak-anak yang berkebutuhan khusus. Tentu terbayang betapa repotnya orang tua yang anaknya berkebutuhan khusus harus membawa anaknya ke sekolah yang jauh. Dan untuk anak berkebutuhan khusus tertentu, dinilai para ahli kurang tepat bersekolah di SLB. Seperti yang dialami Alif, menurut ahli dimana orang tuanya berkonsultasi, Alif akan mengalami tumbuh kembang yang kurang baik apabila sekolah di SLB. Untuk itu disarankan belajar di sekolah reguler atau sekolah umum.
Meski lambat-laun kita syukuri, kini mulai berkurang keluh-kesah seperti di atas. Pemerintah, dalam hal ini Kementerian Pendidikan telah mengaturnya dalam Permendikbudristek Nomor 48 Tahun 2023, yang mewajibkan sekolah reguler/ umum untuk memfasilitasi dan mengakomodasi kebutuhan peserta didik berkebutuhan khusus. Meski kebijakan ini juga masih menyisakan banyak “PR” bagi sekolah / satuan pendidikan di Indonesia. Salah satu yang sangat mendesak dibutuhkan adalah kehadiran Guru Pendamping Khusus atau shadow teacher bagi peserta didik berkebutuhan khusus. Selain sarana & prasarana pendukung belajar lainnya.
Di sisi lain, kita semua juga wajib mendukung kebijakan itu. Para orang tua dan lingkungan harus mengajarkan pada anak-anak kita untuk berteman dan menolong sesama, tanpa membeda-bedakan. Tidak mengejek dan mencela teman, terutama yang berkebutuhan khusus. Mau berbagi dengan semua teman kelas. Menjenguk teman yang sedang sakit. Saling memahami dan toleransi satu sama lain. Juga belajar menghargai pendapat teman. Sekali lagi, di sini peran orang tua dan lingkungan sekitar sangat penting. Dengan dukungan orang tua dan lingkungan, sekolah tentu akan lebih termotivasi meningkatkan kualitas pendidikan bagi anak didiknya tanpa terkecuali.
Penulis dapat melihat secara langsung, di SD Negeri 3 Praya, Lombok dan SMP Negeri 5 Surabaya, anak-anak berkebutuhan khusus dapat belajar, bersosialisasi, bahkan berkreasi dengan gembira dan nyaman di sekolahnya. Semoga sekolah-sekolah lain di seluruh pelosok tanah air juga dapat menciptakan atmosfer inklusif, toleran, dan menempatkan perbedaan bukan lagi sebagai ancaman. Kita semua bangsa Indonesia, juga para pelajar harus mampu menjadikan keberagaman sebagai kekayaan milik bersama.

Sekolah adalah tempat yang nyaman dan aman untuk berkreasi bagi siapa saja
Kita harus dapat menjadikan halaman sekolah maupun ruang kelas sebagai tempat bagi murid-murid menemukan perannya, sehingga setiap individu merasa dihargai. Di halaman sekolah akan kita lihat murid-murid melebur dalam panggung kreasi. Disana pula mereka mengurai sekat perbedaan, mengembangkan kecerdasan emosionalnya, mengelola emosi, meningkatkan empati, termasuk membangun keterampilan sosial yang penting untuk kehidupannya.
Dan kita bisa menatap masa depan bangsa ini akhirnya akan memiliki generasi yang menghargai perbedaan, cinta damai, menjaga harmoni dalam keberagaman bukan sekadar slogan. Lalu, semua itu mewujud dalam sikap dan perilaku anak-anak Indonesia yang bersatu dalam perbedaan. Wujud dari esensi Bhinneka Tunggal Ika.
Lalu muncul pertanyaan, apakah semua sekolah siap mengimplementasikan pendidikan inklusif?
Kalau pun secara fasilitas belum memadai, menurut penulis, yang terpenting adalah memulai dari pikiran yang diwujudkan dalam sikap dan perbuatan. Dimulai dari dalam diri untuk mengintegrasikan nilai-nilai Bhinneka Tunggal Ika dalam pendidikan inklusif itu merupakan langkah yang tepat. Dengan demikian, kita telah menjadi umat yang mengerti rencana Allah untuk menciptakan harmoni dan saling pengertian di antara manusia. Dan juga menjadi bangsa yang bersatu, cinta damai, sehingga semboyan tersebut menjadi identitas kita sebagai bangsa.
Tanpa komitmen yang dimulai dari pikiran, nilai-nilai tersebut tak akan berarti. Kita hanya akan menjadi makhluk yang tidak memiliki empati, bukan menjadi manusia. Jadi, pencapaian pendidikan inklusif tidak hanya menjadikan sekolah sebagai tempat belajar, tetapi juga sebagai institusi yang mendidik karakter dan kecerdasan emosional siswa. Dalam konteks lebih luas, pendidikan inklusif berkontribusi dalam menciptakan masyarakat yang toleran dan terbuka.
Seperti di awal tulisan ini telah disampaikan bahwa perbedaan, termasuk dalam hal penciptaan manusia memiliki konotasi positif. Tidak ada maksud maupun kehendak negatif. Jadi benar adanya bahwa perbedaan adalah bagian dari rencana Allah SWT untuk menciptakan harmoni dan saling pengertian diantara manusia. Untuk itu, kita patut untuk merayakan perbedaan.