Kutinggal Mahkotaku Di Tanah Suci

Zaman gondrong (Difotoin Endah Lismartini, teman kuliah yg baik hati)

Tiga hingga empat dasawarsa yang lalu, aku sebagai remaja yang sedang tumbuh dewasa, mengalami masa dimana biasa orang menyebutnya sebagai masa pencarian jati diri. Selain memiliki segudang rasa ingin tahu, aku memiliki satu obsesi yang entah dari mana datangnya. Sejak dari masa remaja itu, aku terobsesi untuk memiliki rambut gondrong dan ingin merasakan sensasinya.

Di benakku kala itu, “aku berniat gondrongin rambut, dan itu harus terwujud”.

* * *

Sejak masih duduk di bangku sekolah menengah pertama hingga menengah atas, usaha menuju perwujudan itu mulai kucoba. Bermula dari satu dua kali lolos razia, untuk sementara waktu rambutku sempat beberapa kali menjadi yang terpanjang di sekolah. Lalu, setelah itu tertangkap oleh razia khusus yang dilakukan kepala sekolah, maka habislah rambutku dipotong dengan sadisnya.

Bisa dibilang, aku menjadi langganan operasi razia rambut secara khusus itu. Karena pada beberapa momen razia aku kerap lolos, meski akhirnya tertangkap dan habis pula rambutku oleh tangan dan kejamnya gunting kepala sekolah. Itu menjadi cerita suram saat masih duduk di bangku sekolah. Dan di sisi lain, aku kerap iri oleh siswa-siswa yang di sekolah tertentu mendapat kebebasan memanjangkan rambut. Pada waktu itu, ada beberapa sekolah di Jakarta dan Yogya yang membolehkan muridnya untuk  gondrong.

Akhirnya, di awal tahun 90an aku pun mulai bisa memanjangkan rambut sejak mulai kuliah di ‘kampus tercinta, LA32’. Saat itu, tentu saja aku sudah melakukan berbagai persiapan untuk menyambut babak baru dalam hidupku ini. Kegemaranku membaca, membantuku menemukan kisah Rasulullah terkait rambut laki-laki. Seperti dikisahkan, suatu saat Sang Rasul itu melihat pemuda berambut panjang dan acak-acakan alias tidak dirawat dengan baik. Dan saat berpapasan, Sang Nabi pun memalingkan pandangannya. Menyadari Rasulullah tidak suka dengan penampilannya hari itu, keesokan harinya si pemuda menyisir rapi rambutnya sebelum keluar rumah. Lalu, saat berjumpa dengan Nabi Muhammad SAW, si pemuda itu disapa dengan baik oleh Nabinya. Si pemuda itu pun berkesimpulan, bahwa yang tidak disukai bukan rambut gondrongnya, melainkan ketidakrapian dan acak-acakannya.

Sementara, diriwayat lain diceritakan, Nabi Muhammad SAW pernah memanjangkan rambutnya, juga pernah memotong pendek rambutnya.

Berbekal riwayat-riwayat tersebut, aku bertekad memanjangkan rambutku. Dan Alhamdulillah di kampusku dibebaskan bagi mahasiswanya untuk memelihara rambut sesukanya. Tentu saja aku sangat merawat pertumbuhan dan penampilan rambutku, yang juga mahkotaku. Keramas rutin dua hari sekali. Sesekali diberi lidah buaya. Dan kalau sedang beruntung, sesekali creambath. Alhasil, semasa kuliah itu rambutku memanjang hingga melewati pantat panjangnya. Era 90an ini menjadi masa keemasan kalau boleh kupinjam istilah ini.

Dan sepertinya sempat membuat banyak orang suka melihatnya. Aku pun menikmati memiliki rambut gondrong ini. Aku merasa tidak ada yang keberatan dengan rambut gondrongku saat itu. Tapi, tak eloklah kuceritakan bagaimana sikap kagum yang kerap kuterima akan reaksi publik terhadap rambut panjangku saat itu.

Seiring dengan bertambahnya usia, aku mulai mengurangi panjangnya karena perlahan rambut mulai rontok dan menipis. Meski keadaan telah berubah, selama puluhan tahun aku berhasil mempertahankan penampilanku dengan rambut gondrong. Baik itu setelah lulus kuliah, memasuki dunia kerja, bahkan saat menikah dan punya anak pun aku masih tampil dengan rambut  gondrong. Bisa dibilang, rambut gondrong telah menyatu menjadi identitas diriku.

Entah sampai kapan akan bertahan, aku pun tak memiliki rencana apa-apa, selain menikmati kegondronganku. Intinya, dunia di sekelilingku tak ada yang menghalangi, atau bahkan mempermasalahkannya. Semua berjalan baik-baik saja. Kalau pun sempat ada kesan bahwa rambut gondrong identik dengan gaya urakan, atau bahkan anggapan miring lainnya, kuanggap itu hanya penilaian subyektif orang saja. Aku tak pedulikan. Selama aku tidak mengganggu, tidak merepotkan, atau tidak merugikan orang lain dengan penampilanku, ya sudahlah.

Di Masjid Nabawi masih gondrong

Perlu Alasan Sebelum Memutuskan

Oiya, aku mau cerita sedikit melenceng sedikit dari soal mahkota. Sebagai anak muda, saat itu aku juga berkeinginan untuk men-tatto tubuhku. Aku berusaha mencari rujukan, namun sayangnya aku tak menemukan dasar yang kuat untuk mewujudkan keinginanku itu. Karena aku kerap membiasakan diru, kalau melakukan sesuatu harus ada dasarnya, maka keinginan memiliki tatto ini pun kuurungkan. Apalagi bila melihat realita di sekitarku, banyak orang atau teman yang di kemudian hari menyesal ber-tatto, lalu dengan susah payah menghapusnya. Ini memperkuat alasan bagiku untuk tidak perlu memiliki tatto di tubuhku.

Kebiasaan ini jelas menyelamatkanku untuk menyesal di kemudian hari. Jadi, aku memiliki kebiasaan, bila ingin melakukan sesuatu harus punya dasar dan alasan yang kuat. Caranya, ya itu tadi, terlebih dulu mencari bacaan atau rujukan terlebih dulu sebelum mengambil keputusan dan tindakan. Ini penting kusampaikan, mungkin bisa jadi masukan bagi siapa saja yang berkenan menerapkannya.

 

Botak Setelah 32 Tahun Gondrong

Alhamdulillah di bulan September 2023 lalu, aku sekeluarga berkesempatan mengunjungi tanah suci, Madinah dan Mekah. Tanpa beban, terutama berkaitan dengan penampilan dan rambut gondrong, kulangkahkan kaki menuju Baitullah dengan bekal Bismillah. Karenanya, aku berjalan dengan kacamata kuda, tidak mempedulikan apa kata orang. Dan aku yakin orang juga tidak mempermasalahkannya.

Aku datang untuk memenuhi panggilan menjadi tamu Allah SWT dan tamu Rasulullah SAW. Mengikuti arahan pendamping dalam menjalani urut-urutan ibadah di tanah suci. Melapangkan hati agar tidak mengeluh dengan segala yang dihadapi. Meski, ada saja cobaan yang katanya berkaitan dengan perilaku kita di keseharian, yang oleh beberapa pihak disebut sebagai pengalaman spiritual.

Perjalanan dimulai dengan rasa syukur yang tak terhingga ketika pertama kali menginjakkan kaki di tanah Arab. Sebuah rasa yang sulit untuk diungkapkan ketika  mendarat dan berjalan di bandara, padahal saat itu baru membaca tulisan ‘Welcome to Madinah’. Kemudian, langkah demi langkah makin melambungkan perasaan bahagia, hingga akhirnya saat melangkahkan kaki memasuki Masjid Nabawi sembari kusebut asma Allah… Allahu Akbar, Allah Maha Besar.

(Semoga kelak aku berkesempatan membagi cerita yang lebih detail saat di Madinah pada kesempatan lain.)

Usai dari Madinah, perjalanan lanjut ke kota Mekah. Aku seperti menghitung langkah sendiri saat pertama memasuki kota ini, terlebih saat memasuki Masjidil Haram. Mengikuti arahan dan bimbingan Muthawif, aku berjalan sambil terus bersyukur di dalam hati, hingga akhirnya aku benar-benar berdiri, melihat dari jarak yang sangat dekat Ka’bah. Allahu Akbar… Allah Maha Besar. Ya Allah akhirnya aku bisa benar-benar berada di hadapan Ka’bah, kiblat ini membuatku makin bersyukur pada-MU Ya Allah.

Selanjutnya, aku mengikuti prosesi umrah dibawah bimbingan Muthawif yang baik hati. Sebelumnya, selepas dari Madinah aku telah mengambil miqat di masjid Bir Ali dan telah berihram. Mengucap Talbiah hingga melihat Ka’bah. Kemudian menjalani Tawaf mengelilingi Ka’bah 7 kali putaran, Sa’i berjalan dan berlari kecil dari bukit Shafa ke bukit Marwah. Dan di akhiri dengan Tahallul mencukur rambut sebagai penutup proses umrah.

Pada tahap Tahallul ini aku hanya memotong beberapa cm dari rambut gondrongku. Berdasar yang kupelajari, itu diperbolehkan dengan minimal tiga helai. Pada saat itu aku belum memutuskan untuk memangkas rambut sampai botak. Hingga keesokannya, saat hendak melakukan shalat dzuhur, aku yang tinggal di lantai 20 terpaksa ketinggalan tidak bisa mengejar shalat di Masjidil Haram. Baru keluar hotel sudah masuk iqomah, dan orang-orang sudah menggelar sajadah dan berdiri hendak sholat. Maka aku pun bergabung bersama jamaah lainnya yang hendak shalat tak jauh dari halaman hotel tempatku menginap.

“Bapak Aneh…” begitu komentar anakku berulangkali setelah aku botakin rambut.

Usai shalat, saat itu bersama anakku, aku melihat barber shop tak jauh dari tempatku duduk. Tanpa pikir panjang, kuajak anakku untuk mencukur rambut. Awalnya Hiro tampak meragukanku. Tapi setelah kami memasuki barber dan rambutku mulai dicukur, kulihat anakku pun ikut duduk dan mau mencukur rambutnya pula.

 

Saat itu, pada detik-detik sebelum memasuki barber, yang kurasakan seperti menemukan momen, yang kupikir tidak ada momen lain sebesar ini. Dan niatku kala itu, aku ingin mengorbankan sesuatu yang paling kusuka dari diriku sebagai wujud pengabdian pada Sang Pencipta. Dengan melepaskan rasa kebanggaan akan mahkota yang merupakan kebanggaanku ini, aku bermaksud merendahkan diriku di hadapan Allah SWT.  Ini cara lain selain bersujud pada-NYA.

Selain sebagai wujud pengorbanan, aku juga berharap memperoleh doa dari Rasulullah dengan mencukur habis rambutku. Kumantabkan ini sebagai bagian dari melaksanakan Sunnah Rasulullah SAW.

Usai mencukur rambut, awalnya ada keinginan untuk membawanya pulang ke tanah air. Namun, karena disebutkan bahwa dengan mencukur abis rambut itu berarti juga untuk melepas dosa-dosa yang lalu, maka akhirnya kutinggalkan saja rambut tersebut di Tanah Suci.

2 thoughts on “Kutinggal Mahkotaku Di Tanah Suci”

    1. Alhamdulillah… terima kasih banyak mba Erika.
      Semoga bermanfaat bagi siapa saja cerita sederhana ini.

      Salam, moga sehat dan sukses selalu ya mba Erika, aamin

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *