‘Kepentingan’ Di Atas Segalanya vs Budi Pekerti

Film Budi Pekerti siap ditonton di layar Netflix

Film Budi Pekerti telah pamit dari layar bioskop nasional dengan penonton lebih dari 500 ribu orang. Film yang memiliki pesan edukasi ini berhasil menghantarkan dua pemerannya meraih piala citra, selain mendapatkan beberapa nominasi dan penghargaan bertaraf nasional dan internasioanl. Dan baru-baru ini film Budi Pekerti pun telah tayang di layar Netflix.

Bagi yang belum sempat menonton atau ingin mengulang adegan-adegan dari para pemain seperti  Sha Ine Febriyanti, Dwi Sasono, Angga Yunanda, Prilly Latuconsina, Omara Esteghlal, dan Ari Lesmana, netflix memberi kesempatan itu.

Sebagai penonton, sebelum menyaksikan sebuah film, biasanya kita memiliki ekspektasi tertentu. Apalagi bila sebuah film itu terlanjur ramai jadi pembicaraan publik. Aku membayangkan sebuah cerita jadul yang dikemas dengan rasa kekinian. Begitulah kira-kira bayanganku tentang film Budi Pekerti ini, terutama berdasar judulnya.

Lalu, saat mulai menonton, saat menikmati jalannya cerita yang ditampilkan, hingga usai menontonnya, sambil menarik nafas aku membatin, film ini digarap sangat cerdik sehingga alurnya terasa enak ditonton dan tidak menggurui.

Cerita film ini mengangkat kisah bu Prani, seorang guru BK yang suaminya mengalami gangguan bipolar. Keterpurukan ekonomi yang dialami keluarganya, terutama di masa pandemi mendorong keluarganya untuk berjuang. Pak Didit lebih dulu gagal, sehingga membuatnya malah jadi beban keluarga. Sementara dua anaknya, Muklas dan Tita terjun di dunia konten kreator dan bisnis online. Dan bu Prani sendiri sedang berjuang untuk memperbaiki perekonomian keluarga dengan ikut promosi jadi wakil Kepala Sekolah.

Seperti situasi dan kondisi kekinian di tengah masyarakat, yaitu tak ada peristiwa yang luput dari rekam kamera, lalu viral. Demikian pula konflik yang diangkat film ini. Bermula dari kejadian saat bu Prani berada dalam antrian beli kue putu yang sedang viral, lalu panggilan jiwanya berontak atas perilaku buruk seseorang yang menyelak antrian di depan matanya. Kejadian yang terekam secara singkat dengan durasi 20 detik itu mengobrak-abrik keadaan. Upaya memperbaiki karir dan ekonomi bu Prani terganjal. Usaha Muklas sebagai influencer terbantahkan, termasuk posisi Tita yang dikeluarkan dari kelompok bisnisnya.

Nonton tanpa popcorn

Memenangkan Hatiku

Menariknya, dari konflik-konflik yang dimunculkan dalam film Budi Pekerti, semua tak bebas dari adanya kepentingan yang diletakkan diatasnya. Pihak-pihak yang terlibat dalam konflik menyisipkan kepentingan pribadi, kepentingan bisnis, dan kepentingan atas nama apa pun dengan dalih seolah hendak peduli. Ini seperti banyak terjadi di kehidupan masyarakat saat ini, banyak orang yang menitipkan kepentingannya saat terlibat dalam suatu persoalan. Seolah, kemurnian niat ikhlas untuk menolong menjadi barang yang langka. Dan itulah faktanya kini.

Muklas sebagai seorang anak yang seharusnya murni menolong ibunya, tak lepas dari kepentingannya untuk menjaga follower dan endors-annya. Kepala sekolah yang seharusnya mengutamakan mutu pendidikan bagi anak-didiknya tak lepas dari kepentingan yayasan agar sekolahnya diminati, lalu mendaftar jadi peserta didiknya. Dan sederet kepentingan-kepentingan lain yang saling berkelindan.

Pada alur ceritanya, menurutku ada rasa yang mengganjal, yaitu ketika anak-anak bu Prani terlihat heboh saat pak Didit menghilang. Emosi ini tak terbangun dengan baik dari awal. Sebelumnya, Muklas dan Tita digambarkan cuek atau tak peduli terhadap bapaknya. Sikap itu bahkan menjadi pemicu tragedi yang menimpa bu Prani. Karena anak-anaknya sibuk dengan dunianya masing-masing, terpaksalah bu Prani mendatangi penjual kue putu demi memuaskan penasaran dan keinginan membelikan kue untuk pak Didit. Dan, menjadi janggal ketika tiba-tiba anak-anaknya begitu panik saat pak Didit menghilang.

Kemampuan penulis dan sutradaranya, Wregas Bhanuteja dalam meramu cerita sempat membuatku khawatir, terutama saat bu Prani dihadapkan pada tembok kekuasaan, yaitu sekolah dan yayasan. Beruntungnya, sikap bu Prani ditampilkan sebagai sosok yang berani mengambil keputusan tepat, yang sekaligus menjadi argumentasinya menghadapi Gora, muridnya yang mengambil keputusan sama dari tempatnya bekerja. Sikap ini mampu memenangkan hatiku, dimana prinsip hidup tidak dikalahkan oleh keadaan. Di mana, saat kini kebenaran dan fakta lebih ditentukan oleh siapa yang paling sering bicara di media sosial dan seberapa besar dukungan padanya. Seolah siapa yang benar dan siapa yang salah menjadi tidak penting.

Bu Prani dengan gagah berani lebih memilih mempertahankan sikap yang diyakini benar. Bu Prani menolak berkompromi meski keputusan itu pahit. Dan, memang demikianlah seharusnya manusia bersikap. Budi pekerti luhur lebih utama, dibandingkan kepentingan sesaat yang akan menghancurkan sisi kemanusiaannya.

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *