Menikmati Gadis Kretek: Menghisap, Membaca, atau Menonton

Cover novel Gadis Kretek yang menggodaku (dokpri)

Membaca novel Gadis Kretek karya Ratih Kumala, sejatinya memunculkan cerita tersendiri pada diriku. Waktu itu aku melihat buku berisi novel ini di deretan rak fiksi di toko buku Gramedia, entah karena alasan apa, pertama melihat cover dan judulnya spontan aku menyukainya. Padahal aku tak pernah mendengar atau mengetahui tentang novel ini sebelumnya. Kuduga, alasanku karena aku penikmat kretek.

Enteng saja kuambil dan kubawa ke kasir si Gadis Kretek ini, lalu kubawa pulang. Sesampainya di rumah, mulai kubaca baris demi baris kalimat bercerita itu. Namun, belum selesai membacanya, aku tiba-tiba harus menjalankan tugas ke luar kota. Maka ikutlah tuh buku menyertai perjalananku. Hanya saja, karena kesibukan, aku baru sempat melanjutkan membaca saat perjalanan pulang. Di pesawat aku membacanya. Entah karena lelah atau apa, kantuk menyerangku, sehingga buku novel itu kuletakkkan di tempat menyimpan barang yang menempel di bangku depanku. Dan apesnya, aku terbangun saat pesawat sudah mendarat. Sialnya pula, aku kelupaan mengambil Gadis Kretek itu. Alhasil, karena rasa penasaran, aku mendatangi lagi toko buku Gramedia, membeli novel yang sama untuk kali kedua.

Membaca Gadis Kretek ternyata mengasyikkan. Di bagian pertama, sosok Jeng Yah yang merupakan pemeran utama diceritakan oleh Lebas, anak bungsu dari Pak Raja yang biasa dipanggli Romo oleh ketiga anaknya. Tegar nomor satu, Karim nomor dua, dan si bungsu Lebas, yang digambarkan tak jelas hidupnya bagi kelangsungan bisnis pabrik rokok Djagad Raja. Pengenalan karakter berlangsung mengalir seiring dengan penggambaran Pak Raja yang sedang setengah hidup dan setengah mati, karena menanggung beban masa lalunya yang tak tuntas bersama Jeng Yah, wanita yang membuat istri pak Raja ‘cemburu setengah mati’ pula.

Oiya, perkenalanku dengan novel Gadis Kretek ini berbeda dengan series Gadis Kretek. Kalau untuk novel dimulai dengan kejadian tak terduga, berbeda dengan series. Jauh hari sebelum kutonton, aku sudah tahu bahwa cerita Gadis Kretek sedang diproduksi. Ya kehadirannya termasuk yang kutunggu.

Sebagai pembaca, sekaligus penonton Gadis Kretek, disini aku jadinya akan loncat sana-sini. Gak papa juga kan.

Setelah mengikuti petualangan yang dimulai pada bagian pertama novel, kemudian berlanjut ke bagian kedua yang menceritakan kisah Lebas yang pernah melanglang buana. Sebagai anak orang kaya, ia berkedok kuliah di luar negeri, lalu berbagai kebimbangan dialaminya. Ini seperti banyak dialami oleh anak-anak muda lainnya pada masa itu. Kusebut bimbang, karena melalui Lebas dan temannya, tergambar betapa bangku kuliah ternyata tak menjamin seseorang bisa menjadi ‘sesuatu’ seperti dipikirkan oleh orang pada umumnya. Bahkan, pada seorang Lebas, menghadapi masa gawat bapaknya pun masih sempat-sempatnya menikmati ‘petualangan’ yang jauh dari tujuan perjalanannya.

Cerita tentang persaingan asmara antara Idroes Moeria dan Soedjagad memang tak muncul secara gamblang dalam series, namun dalam novel benar-benar disampaikan betapa kegigihan Idroes Moeria tak hanya mengalahkan Soedjagad, tapi juga mampu merebut hati Roemaisa. Bahkan saat kedatangan Jepang yang semula disebut sebagai saudara tua, akhirnya sempat memisahkan keduanya. Cinta terbukti mampu menjaga hubungan mereka. Dan melalui Klobot Djojobojo terbukti hubungan mereka disatukan menjadi semangat untuk mendaki masa depan. Meski kemudian merk Djojobojo tak lagi dipakai karena dianggap tak sepenuhnya akan menjamin masa depan. Demikian pula semestinya dengan ramalan Djojobojo.

Jalan panjang persaingan Idroes Moeria dan Soedjagad terus berlangsung. Bahkan kadang terang-terangan Soedjagad bertindak sengaja mengundang cemburu bagi Idroes Moeria, yang juga diketahui oleh Roemaisa, istrinya. Di series, hanya sebagian kecil saja kemunculan perseteruan kedua orang yang berpengaruh di Kota M itu. Seperti dengan simbol pemberian bunga mawar merah yang diterima setengah hati oleh ibunya Dasiyah dan Roekayah. Dan, digambarkan pula, kedua gadis itu berteman dengan Purwanti, anak dari pasangan Djagad dan Lilis.

Perihal perjalanan Dasiyah menjadi gadis kretek, ada perbedaan cara penggamabaran antara novel dan series. Di novel, digambarkan Dasiyah yang rajin membantu melinting, lalu mengumpulkan sari kretek yang menempel di jari tangannya, kemudian dipanaskan di bawah poci dan dipotong-potong sebelum disatukan dalam tingwe (linting dewe). Pada series tidak digambarkan seperti itu. Kesanku, kalau di novel, sosok Dasiyah hendak digambarkan mirip Roro Mendut, di series aku menangkap kesan hendak digambarkan seperti Kartini.

Tak hanya itu, perbedaan penggambaran juga terjadi pada Dasiyah dalam mengolah saus untuk produksi kretek. Di series ditampilkan isu gender, dimana perempuan dijauhkan dari ruang pengolahan saus. Sedangkan di novel, Dasiyah mendapat kebebasan dari bapaknya untuk memproduksi saus buatannya.

Memang, tak ada kewajiban bagi sebuah film atau series untuk menyajikan cerita dari novel yang diangkatnya plek-ketiplek persis. Demikianlah yang terjadi pada series Gadis Kretek. Pada series tidak dimunculkan cerita kemunculan nama dagang Gadis Kretek, termasuk usaha Idroes Moeria ke Gunung Kawi yang pada masa itu sangat beken dan biasa ditempuh oleh calon pengusaha, termasuk rokok kretek dan lainnya. Lebih dari itu, sisi menariknya, terdapat perbedaan pula dalam mengangkat awal kisah pertemuan dan jalinan asmara antara Jeng Yah (Dasiyah) dan Raja atau Soeraja (Suraya). Termasuk banyak cerita lain yang berbeda antara novel dan series. Tak apa, meski berbeda namun keduanya tetap memiliki sisi menariknya masing-masing. Hanya saja, yang kiranya menggangguku sebagai pembaca novel dan juga penonton series, adalah cara pandang terhadap gadis kretek itu sendiri. Dimana pada series diangkat isu gender yang sebenarinya tidak begitu dimunculkan pada novel. Adalah ruang produksi saus itu yang menjadi tempat terlarang bagi perempuan, termasuk Jeng Yah yang merupakan anak kebanggaan bagi Idroes Moeria. Sah-sah saja ketika series mengangkat isu itu sebagai daya pikat, namun penggambaran Jeng Yah, sebagai gadis kretek yang dalam novel disebut sebagai titisan Roro Mendut, menjadi lain dalam series yang seolah menjadi pejuang kesetaraan dalam upayanya untuk dapat meramu saus.

Poster series Gadis Kretek (Radar Jogja)

Series Yang Digarap Serius

Menonton series Gadis Kretek season 1 (5 episode) yang digarap oleh pasangan sutradara Ifa Isfansyah dan Kamila Andini, kita disuguhi angel-angel yang menarik, cerita yang mampu memaksa penonton duduk manis di depan layar netflix, bahkan mungkin sebagian penonton sempat meneteskan air mata. Setting yang dibangun tahun 1960-an dan awal tahun 2000-an disajikan dengan tempo yang cermat, sehingga tidak membosankan. Sebagai orang yang membaca novel lebih dulu, aku tak keberatan meski banyak hal tidak ditampilkan secara keseluruhan ceritanya dalam series ini. Seperti yang paling mencolok, di series tidak ditampilkan latar cerita yang menceritakan masa pendudukan Jepang, di masa Idroes Moeria muda. Di series lebih ditonjolkan pada masa Jeng Yah dan Soeraja yang dilatar-belakangai sejarah kelam pemberontakan PKI tahun 1965. Juga yang tak kalah menggelitik adalah hubungan Lebas dan Arum, anak Raja dan anak Jeng Yah.

Selain suguhan setting yang apik, penonton series juga cukup terhibur dengan akting para pemerannya, terutama Dian Sastrowardoyo (Dasiyah / Jeng Yah), Ario Bayu (Soeraja / Raja / Raya), Putri Marino (Arum), dan Arya Saloka (Lebas). Pasangan Jeng Yah dan Raja, serta Lebas dan Arum mampu memerankan tokoh-tokoh dalam cerita dengan sangat menggemaskan. Dua pasang karakter yang hidup dalam era berbeda dengan gaya yang berbeda pula. Di samping juga peran-peran lain yang tak kalah dalam ikut menghidupkan cerita secara keseluruhan.

Kalau boleh disebut pada season pertama ini cukup berhasil, kiranya kita patut menunggu ceritanya pada season kedua yang sangat mungkin akan dipajang di layar netflix.

Aku dan Kretek

Aku merupakan penikmat kretek, terkhusus merk 234. Sepanjang hidup ada dua merk yang pernah kuhisap, pertama si I Love The Blue yang merupakan rokok kretek filter, dan sejak tidak diproduksi lagi lalu aku beralih ke kretek 234 hingga kini.

Menghisap kretek bagiku semacam kebutuhan, melebihi eksistensi. Bicara tentang aktivitas merokok, satu hal yang kerap jadi perdebatan adalah soal dampaknya yang menurut sebagian orang dinilai sebagai sumber penyakit. Meski, banyak juga penelitian yang menolaknya. Bahkan bagi para pendukung rokok, digambarkan tak sedikit orang-orang yang merokok justru berumur panjang. Dan sepanjang hidupnya ia menghisap rokok. Kalau pada akhirnya ia meninggal, tentu tak sepenuhnya disebabkan oleh asap rokok.

Di luar itu, banyak sekali fakta-fakta menarik tentang rokok kretek. Rokok kretek merupakan rokok khas Indonesia. Berdasarkan cara produksinya, kretek ini biasa disebut Sigaret Kretek Tangan (SKT). Cara membuatnya melibatkan tangan-tangan para pekerja, yang sebagian besar adalah tenaga kerja perempuan, serta pada beberapa pabrik rokok juga mempekerjakan pekerja disabilitas.

Bahan baku rokok kretek adalah tembakau dan cengkeh, dicampur dengan saus. Ada pun sebutan kretek itu sendiri berasal dari bunyi kretek-kretek saat rokok dibakar. Dari sini dapat kita lihat fakta bahwa produksi rokok melibatkan banyak orang, mulai dari petani tembakau dan cengkeh (menurut data Aliansi Masyarakat Tembakau Indonesia /AMTI tahun 2022, rokok mampu menghidupi 6,1 juta pekerja langsung maupun tidak langsung, termasuk 1,8 juta petani tembakau dan cengkeh).

Masih menurut data AMTI, tahun 2022 lalu, cukai hasil tembakau (CHT) sebesar 198 triliun rupiah. Bahkan, pendapatan dari cukai rokok pernah digunakan untuk menambal defisit PBJS kesehatan yang saat itu mengalami kesulitan neraca keuangan. Ini merupakan sebuah fakta unik, kalau benar rokok disebut sebagai sumber penyakit, namun rokok justru bermanfaat untuk pengguna BPJS kesehatan. Lebih dari itu, SKT dari dulu menjadi tumpuan ekonomi Indonesia dan ikut berperan dalam stabilitas perekonomian nasional.

Adanya fakta-fakta tersebut, berbanding terbalik dengan perlakuan pemerintah terhadap rokok dan perokok. Dapat dilihat pada pelabelan kemasan rokok, peringatan yang dibuat sungguh sangat menyeramkan, dengan tulisan dan gambar yang dibuat menakut-nakuti. Namun sikap ambigu ditunjukkan dengan tak kunjung menutup pabrik rokok, seandainya benar ancaman dan bahayanya. Justru pemerintah menikmati hasil cukai dengan terus menaikkan angkanya. Perlakuan terhadap perokok juga demikian, adanya aturan penyediaan ruang merokok yang manusiawi di tempat-tempat publik tak dipenuhi. Bahkan tak sedikit yang memanfaatkannya untuk keperluan bisnis, seperti kerap terjadi di bandara, dengan penyediaan ruang merokok di cafe atau resto, dengan syarat dan ketentuan tertentu.

Kita cukup paham dengan akal-akalan khas Indonesia seperti itu. Sepertinya kita dianggap ‘buta’ dengan permainan seperti itu. Mereka memanfaatkan budaya pakewuh masyarakat Indonesia untuk meraup ‘keuntungan pribadi’, memenuhi kepentingan sepihak yang nyatanya sudah dipahami niat busuknya. Hal itu tergambar dalam series Gadis Kretek melalui perilaku pak Djagad yang memanfaatkan situasi kelam tragedi 1965 untuk memenuhi ambisi dan kepentingan pribadinya. Entah sampai kapan bangsa ini berlaku seperti itu.

Kini, sembari nunggu series Gadis Kretek, andai benar ada kelanjutannya, mari kita hisab kretek khas Indonesia sambil nyeruput kopi. Konon kabarnya, nikotin yang terkandung dalam kretek akan larut oleh kafein yang terkandung di dalam kopi. Dan kafein akan larut oleh air putih. Maka perbanyaklah minum air putih setelah menghisap kretek dan minum kopi. Entah benar atau tidak, tapi yang pasti kita memang butuh asupan air putih yang  cukup.

Selamat membaca, selamat menonton, dan selamat menikmati Gadis Kretek….

5 thoughts on “Menikmati Gadis Kretek: Menghisap, Membaca, atau Menonton”

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *