Sore ini mas Klinying dan kawan-kawan sedang kongkow di warung ibunya mba Wati. Mas Klinying yang sedang menyeruput kopi hitam kental itu serius menyimak obrolan mas Basirin.
“Kita ini sebagai anak bangsa harus menerima warisan dari para leluhur bangsa, tidak bisa tidak. Itu telah digariskan. Suka tidak suka, warisan telah ditinggalkan, dan kita harus menerimanya!”
“Memangnya ada ya mas Bas, orang yang tidak suka menerima warisan?” Potong Pion menyela.
Mas Basirin menunjuk ke arah Pion sebelum bicara, “Ya kalau warisannya harta, pastinya semua orang suka menerimanya. Namun, ini warisannya berupa tanggung jawab, jadi ya sangat mungkin ada yang tidak suka!” seru mas Bas dengan nada nyinyir.
“Gitu ya, emangnya apa sih warisannya itu? Bukan warisan hutang yang dilakukan oleh negara / pemerintah kan ya?!” Pion penasaran.
“Nah ini, gawat ini kalau sampai ngaku sebagai generasi penerus tapi tidak tahu warisan yang telah dititipkan oleh para leluhur pendiri bangsa…” mas Bas diam menunggu reaksi Klinying, Pion, Saklun, dan Don yang ikutan kongkow sore ini.
Klinying yang lebih dulu bereaksi. Pertama reaksinya menggaruk-garuk kepalanya yang sebenarnya tidak gatal. Lalu melempar tanya. “Apa iya, para leluhur pendiri bangsa kita ini menitipkan warisan untuk kita?”
Yang lain bersikap menunggu. Ada yang tengak-tengok, ada yang nyeruput kopi. Ada pula yang bengong.
Basirin mulai kelihatan sewot, kesal dengan kawan-kawannya. “Payah kalian semua!”
Basirin menarik nafas cukup panjang, lalu menghembuskannya. “Kalian ini dari kecil sudah terbiasa mendengarkannya, tapi ternyata gak memahami maknanya. Bisa jadi seminggu sekali, dulu tiap hari senin kalian mendengar dibacakannya isi warisan itu. Lagi-lagi kalian cuma mendengar, tapi gak tau apa yang kalian dengarkan. Benar-benar payah!”
Para anggota Panggon Nggedabruz sementara dibuat tak berkutik oleh kekesalan Basirin. Semua terdiam. Menunggu….
Basirin yang tadinya duduk, tiba-tiba berdiri. “Tolong pasang telinga kalian semua agar bisa mendengar apa yang seharusnya kalian dengar! Ketahuilah, sebagaimana tertuang dalam Pembukaan UUD 1945, disana disebutkan bahwa cita-cita luhur Bangsa Indonesia adalah melindungi segenap bangsa dan seluruh tumpah darah Indonesia, memajukan kesejahteraan umum, mencerdaskan bangsa, dan ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasar kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial”. Basirin memutar pandangannya, melihat ke arah kawan-kawannya satu per satu. “Sudahkah kalian mendengarnya?!”
Kawan-kawan Basirin, anggota tidak tetap Panggon Nggedabruz itu pun mengangguk-angguk.
“Kalian paham maksudnya?”
Kali ini muncul sikap tidak konsisten dari reaksi anggota Panggon Nggedabruz itu. Sebentar mengangguk, sebentar kemudian menggeleng.
“Jadi, kalian semua tanpa terkecuali, kita semua bangsa Indonesia, berkewajiban untuk ikut serta mewujudkan pencapaian cita-cita luhur itu. Seluruh warga negara harus mengambil peran dalam upaya mengimplementasikan cita-cita luhur yang diwariskan oleh para pendiri bangsa ini. Tidak bisa kita hanya berharap pada negara atau pemerintah saja untuk mengemban tugas itu.”
Pion unjuk jari. “Kenapa gak boleh kita menyerahkan tugas itu pada negara atau pemerintah saja mas? “
“Sebelum kujawab pertanyaanmu, boleh ya aku nanya dulu, konteksnya apa sehingga kamu hendak menyerahkan beban tanggung jawab itu ke negara / pemerintah?”
“Ya kan mereka kita bayar, tiap bulan kita gaji. Sudah sepantasnya mereka bekerja melaksanakan tugas-tugasnya, termasuk menjalankan kewajiban itu!” seru Pion sambil memperbaiki posisi duduknya.
“Kalau itu dasarnya, maka jawabannya : boleh, pake banget.”
“Memangnya ada jawaban gak bolehnya ya mas?” tanya Don.
“Iya ada. Gak boleh, kalau kita beranggapan bahwa pemerintah, terutama aparaturnya itu lebih pintar dari kita….” Basirin seperti sengaja menggantung kalimatnya..
“Bukannya mereka memang pintar-pintar mas?” tanya Don lagi.
“Enggak!” seru mas Basirin dengan ekspresi sambil mencibirkan mulutnya.
“Apa iya mas? Jangan sembarangan menilai loh.” kali ini Saklun yang sepertinya hendak membela.
“Kalian pikir semua aparatur itu pintar? Jelas tidak. Banyak diantara mereka yang tidak memiliki kapasitas dan kapabilitas. Mereka yang untuk jadi aparatur negara dengan cara menyuap atau menyogok, apa mereka pintar? Mereka yang jadi aparatur negara karena koneksi, apa kalian pikir mereka pintar? Apa yang jadi pejabat karena hasil bagi-bagi kue kekuasaan, kalian pikir mereka pintar? Tentu kalian sepakat, semua jawabannya enggak kan?” Basirin berhenti bicara untuk mengambil nafas dan mengatur emosinya. “Mereka semua itu justru yang merusak tatanan!”
Suasana Panggon Nggedabruz jadi memanas. Emosional.
“Bener juga sih mas,” Klinying yang dari tadi nyimak membenarkannya.
“Bukan benar juga Nying, tapi benar adanya!” lagi-lagi Basirin masih belum bisa menurunkan emosinya.
Dari belakang tampak mba Wati membawa segelas air putih es, lalu menyerahkan pada Basirin. “Mas Bas, ini loh air es kesukaan sampeyan, sudah saya kasih perasan jeruk nipis. Minum dulu biar ati sampeyan ikut dingin.”
Basirin menerimanya dengan senyum yang tiba-tiba muncul, lalu langsung menyeruputnyanya. Glek.
“Memang ya, terkadang perempuan itu sangat memahami apa yang sedang dibutuhkan laki-laki,” Klinying nyeletuk mengomentari kejadian yang baru saja dilihatnya.
Tak ada yang mengomentari. Hanya saja suasana yang tadinya mulai memanas, mendadak jadi reda.
“Nah kembali ke soal warisan tadi,” Basirin yang kini sudah tampak santai, melanjutkan pokok bahasan awalnya. “Jadi, sebagai warga bangsa Indonesia, kita tak lepas dari peran dan tanggung jawab itu. Kita harus bersuara, menyumbangkan pikiran, tenaga, bahkan juga perlu mengkritisi setiap penyelewengan terhadap cita-cita luhur bangsa Indonesia itu.”
“Oalah mas Bas, lha kita ini mikir beras abis, biaya sekolah anak, dan menjaga agar tak tergoda diskonan aja susah, kok disuruh ikut ngurusin warisan yang berat gitu tho!” mba Wati menyampaikan keluh kesahnya dari dapur.
“Justru itu mba, karena bangsa ini maunya mikir yang kecil saja, sehingga gak kunjung mampu meraih yang besar. Padahal, kalau cita-cita luhur yang tadi kusebutkan telah tercapai, justru kita gak perlu lagi mikirin beban hidup yang tadi mba Wati sebutkan. Kecuali soal diskonan itu loh ya!” Basirin memberi penekanan dengan nada bercanda pada kalimat terakhirnya.
“Apa iya bisa begitu mas…?” Pion penasaran.
“Lha iya, soal beras, itu kan bagian kecil dari pencapaian kesejahteraan, lalu soal biaya sekolah itu kan bagian dari pencapaian mencerdaskan bangsa. Jadi, kalau hal-hal yang dicita-citakan itu mampu dicapai, persoalan printilan dibawahnya seharusnya juga sudah beres.”
Mba Wati mesem mendengar pnejelasan Basirin itu. “Omongan sampeyan kayak capres dan caleg yang lagi kampanye deh mas. Ngasih janji manis, tapi entah hasilnya nanti.”
Mendadak tawa pecah. Masing-masing yang hadir disitu tertawa. Namun entah apa yang mendasari tawa mereka. Memang, kadang kita suka menertawakan realita. Meskipun realita itu sebenarnya sangat menggelikan.
~***~
No comment 😊
terimakasih